Salah
 satu perwujudan estetika Islam yang sering dikesampingkan ialah seni 
lukis. Padahal tradisinya memiliki sejarah panjang. Sebab-sebabnya 
mungkin karena seni lukis dalam tradisi Islam berkembang pesat di luar 
kebudayaan Arab, seperti Persia, Asia Tengah, Turki, India Mughal, dan 
Nusantara. Sedangkan apa yang disebut kebudayaan Islam kerap 
diidentikkan dengan kebudayaan Arab. Kecenderungan tersebut tampak pada 
sebutan ‘arabesque’ terhadap ragam hias tetumbuhan yang mengalami 
perkembangan pesat sejak berkembangnya agama Islam dan peradabannya. Sebab
 yang lain ialah anggapan bahwa larangan menggambar makhluq hidup yang 
bergerak seperti manusia dan binatang benar-benar didasarkan atas sumber
 al-Qur’an. Padahal ketidaksenangan ulama atau fuqaha tertentu terhadap 
seni lukis, sebagaimana terhadap seni pada umumnya, lebih didasarkan 
pada hadis tertentu yang kesahihannya masih terus diperdebatkan sampai 
sekarang.
Pandangan
 bahwa lukisan figuratif tidak dibenarkan dalam Islam bersumber dari 
teks-teks abad ke-11 dan 12 M, ketika ulama fiqih dan ilmu syariat mulai
 dominan dalam Islam. Dan mulai bertabrakan pandangan dengan para 
filosof (hukama) dan sufi berkaitan dengan manfaat seni dalam peradaban 
religius. Teks-teks sebelum abad tersebut malah tidak mempersoalkan 
kehadiran lukisan figuratif. Di negeri-negeri yang telah disebutkan 
malah abad ke-12 dan 13 M merupakan periode pesatnya perkembangnya seni 
lukis khususnya, dan seni rupa umumnya, dalam sejarah kebudayaan Islam. 
Lukisan-lukisan yang dihasilkan pada masa awal itu umumnya berupa 
lukisan miniature atau lukisan berukuran kecil yang pada mulanya 
dimaksudkan sebagai ilustrasi buku. Baru pada abad ke-17 M lukisan 
berukuran besar pada dinding berkembang pesat di negeri-negeri seperti 
Persia, Iraq, Turki, Asia Tengah, dan India Mughal. Sejalan dengan itu 
estetika atau teori seni juga berkembang. Peran estetika estetika 
menonjol karena mempengaruhi corak seni lukis secara umum.
 Pada mulanya seni lukis dalam Islam muncul di wilaah-wilayah yang 
sebelum datangnya Islam telah memiliki tradisi seni lukis yang telah 
maju. Khususnya Persia, Iraq dan Asia Tengah. Di kawasan-kawasan ini 
peradaban besar masa lalu telah muncul seperti 
 Mesopotamia, Sumeria, Assyria, Babylonia, Sughdia dan Persia. Tidak 
heran jika lukisan tradisi Islam paling awal dijumpai di wilayah-wilayah
 ini. Lukisan tertua misalnya dijumpai pada dinding istana Bani Umayyah 
yang dibangun oleh Sultan Walid I pada tahun 712 M di Qusair Amra, 
Syria. Juga lukisan di tembok bekas istana Sultan al-Mu`tazim dari Bani 
Abbasiyah di Samarra, Iraq, yang dibangun pada tahun 836-9 M.
 Tembok bekas istana Sultan Walid I, yang terletak di tengah padang pasir itu, dipenuhi lukisan alegoris dan gambar berbagai jenis tumbuhan serta hewan. Asal-usul seni lukis dekoratif Islam (arabesque)
 mungkin dapat dilacak melalui gambar tersebut. Gambar di dinding istana
 Samarra memperlihatkan perkembangan lanjut yang penting. Di situ 
terdapat gambar gadis-gadis yang sedang menari, menyanyi dan bermain 
musik. Ini menggambarkan meriahnya kehidupan seni pertunjukan di istana 
kekhalifatan Abbasiyah di Baghdad sejak awal. 
 Di antara gambar menarik  ialah gambar burung sedang terbang. Pada masa
 selanjutnya burung dijadikan tamsil bagi roh manusia yang selalu 
merindukan asal-usulnya di alam ketuhanan (`alam al-lahut) dan 
karenanya burung merupakan satu-satunya binatang yang muncul sebagai 
motif utama seni hias Islam. Sosok manusia digambar dalam pola 
lingkaran. Contoh serupa dijumpai pada sejumlah benda keramik dari zaman
 yang sama. Yang lebih menarik lagi ialah bahwa gambar di istana 
Abbasiyah itu dipengaruhi gaya Sassaniyah  Persia abad ke-2 dan 7 M. 
 Benda estetik Islam lain juga dijumpai di   Nisyapur, Iran Utara, 
berupa gambar berelung pada gip yang menampilkan motif vas dan bunga. 
Latar biru pada gambar itu lazim dijumpai pada lukisan miniatur Persia 
abad ke-13 sampai 17 M. Gambar tersebut besar kemungkinan dibuat pada 
abad ke-10 M ketika Nisyapur berkembang menjadi pusat peradaban Islam 
dan pusat pembuatan keramik terbesar di luar Cina. Bukti lain bahwa pada
 abad ke-10 M seni lukis telah berkembang ialah dijumpainya 
fresco-fresco peninggalan Bani Fatimiyah yang memerintah Mesir dari abad
 ke-10 sampai abad ke-12 M. Fresco-fresco Mesir itu menampilkan lukisan 
geometris khas Islam. Selain itu juga terdapat gambar figur berupa orang
 sedang memegang gelas minuman.
 Sangat disayangkan memang tak banyak karya pelukis Muslim pada zaman 
permulaan itu yang dijumpai. Dua bencana besar telah menghapus jejaknya.
 Pertama, kebakaran yang meludeskan perpustakaan Bani  Fatimiyah di 
Kairo pada abad ke-12 M. Hampir seluruh manuskrip berharga dari abad 
ke-8 sampai 12 M yang jumlahnya ratusan ribu hangus ditelan api. Padahal
 dalam naskah-naskah kuna itu terdapat banyak ilustrasi yang menjelaskan
 perkembangan seni lukis abad ke-9 – 10 M dalam Islam.  Beberapa fragmen
 yang dijumpai dan selamat dari jilatan api ialah  gambar kepala 
perajurit sedang berangkat ke medan perang. Gayanya mirip dengan gaya 
Iran dari abad yang sama. 
 Bencana kedua ialah musnahnya perpustakaan kekhalifatan Baghdad pada 
masa penyerbuan tentara Mongol pada tahun 1256 M. Namun masih untung, 
karena beberapa manuskrip berisi ilustrasi, yang dibuat pelukis Muslim 
abad ke-12 dan awal abad ke-13, masih dijumpai dalam jumlah memadai. Di 
antaranya manuskrip yang memuat lukisan miniatur karya al-Wasiti, 
seorang pelukis terkenal pada zaman akhir kekhalifatan Abbasiyah. 
Lukisan al-Wasiti dijumpai pada manuskrip berisi salinan teks Maqamat, kumpulan cerita pendek karangan  al-Hariri. 
Bahwa
 pada abad ke-11 dan 12 M seni lukis berkembang, khususnya di wilayah 
Persia, tampak pada adanya uraian tentang seni lukis dan pelukis dalam 
beberapa karya sastra masyhur. Misalnya dalam Shah-namah (1009 M) karya Firdausi, Iskandar-namah dan Khamza
 karya Nizami (w. 1202 M). Dalam dua buku itu, masalah seni lukis dan 
pandangan seniman Muslim tentang seni lukis disajikan secara jelas. Juga
 dijelaskan pengaruh seni lukis Byzantium dan Cina. Keterangan tentang 
pesatnya perkembangan seni lukis juga ditemui dalam buku-buku karangan 
Imam al-Ghazali (w. 1111 M) seperti Ihya’ Ulumuddin dan Kimiya-i-Sa`adah. Dalam bukunya itu Imam al-Ghazali membahas hadis yang memuat larangan menggambar mahluq hidup di luar tetumbuhan. 
 Penjelasan serupa juga dijumpai dalam beberapa teks abad ke-13 dan 14 M, Bustan dan Gulistan karya Sa`di (w. 1292 M) dan Matsnawi
 karya Jalaluddin Rumi (1207-1273 M). Pada masa ketika teks-teks 
tersebut ditulis, teori seni dan imaginasi telah berkembang dalam 
tradisi intelektual Islam. Pada masa yang sama negeri Persia secara 
bergantian berada di bawah kekuasaan dinasti Persia, Turk dan Mongol 
(Il-khan). Dinasti-dinasti ini dikenal sebagai pencinta dan pelindung 
seni lukis. Seni lukis berkembang pesat terutama pada zaman Bani Ilkhan 
Mongol (1258-1395 M) memerintah Iraq dan Persia sejak jatuhnya 
kekhalifatan Abbasiyah. Sejak akhir abad ke-13 M banyak pelukis Cina 
didatangkan oleh sultan-sultan Mongol untuk menghiasi dinding-dinding 
istana mereka. Dari para pelukis Cina inilah pelukis-pelukis Muslim 
mempelajari tehnik melukis dan mengolah warna, serta cara-cara membuat 
kertas yang bermutu tinggi.
Dalam bukunya Islam and Muslim Art
 (1979) Alexandre Papadopulo mengatakan bahwa seni lukis Islam 
berkembang semarak antara tahun 1335-1350 M dan berakar pada tradisi 
seni lukis Persia yang berkembang di Mesir pada abad ke-10 M. Walaupun 
dipengaruhi seni lukis Cina, namun motif estetik yang melandasi 
penciptaan seni lukis Islam pada waktu itu sangat berbeda dengan motif 
estetik pelukis Cina. Motif pelukis Cina didasarkan pada Taoisme yang 
menganjurkan gagasan penyatuan dengan alam. Karena itu lukisan Cina 
didominasi lukisan tentang alam. Teori yang mereka gunakan ialah teori 
representasi dengan pendekatan semi naturilistik. Pelukis-pelukis Taois 
juga percaya bahwa pemandangan alam, apabila dihadirkan dengan 
ketrampilan artistik yang tinggi, dapat merepresentasikan perasaan dan 
pikiran manusia yaitu pelukisnya dengan baik 
 Pelukis Muslim bersikap sebaliknya. Meniru gambar alam atau membuat 
lukisan dengan mengedepankan hasil pencerapan indera berarti merendahkan
 peranan akal pikiran dan imaginasi, yang merupakan tanda utama 
keunggulan manusia dari makhluq lain. Karena mengedepankan akal pikiran 
dan imaginasi maka yang dihasilkan ialah lukisan yang bukan sekadar 
representasi dari obyek-obyek yang dapat dicerap indera, apalagi tiruan 
dari obyek. Lukisan-lukisan karya seniman Muslim  cenderung adalah hasil
 stilisasi dan simbolisasi atas bentuk.atau tidak jarang cenderung ke 
abstrak imaginatif. Sebagai contoh ilustrasi dalam teks Kitab al-Tsabita
 yang disalin pada awal abad ke-13. Di situ gambar manusia tidak 
disertai gerak tubuh dan cenderung linear. Bahkan sosok manusia 
diubahsuai ke dalam bentuk abstrak. Memang secara teknis lukisan 
tersebut dipengaruhi oleh seni lukis Cina, sebagaimana terlihat pada 
garapan garis yang sempurna dan rapi dalam gambar kaki sapi. Penggunaan 
warna emas dan perak untuk iluminasi dan garis pinggir membuat lukisan 
tersebut hadir sebagai lukisan abstrak.
Contoh lain ialah ilustrasi dalam manuskrip Kitab al-Aghani (karya al-Isfahani) dan Kitab al-Diryaq
 (terjemahan buku Galenus) yang disalin pada akhir abad ke-12 M. 
Lukisan-lukisan dalam dua manuskrip inilah yang berpengaruh terhadap 
lukisan-lukisan abad ke-13 M. Ciri-cirinya antara lain: (1) Sosok 
manusia digambar statik, tanpa peragaan atau modelling; (2) Watak 
individual masing-masing sosok ditonjolkan, suatu hal yang tidak 
dijumpai dalam lukisan Cina dan Jepang yang sezaman; (3) Motif seni hias
 yang disertakan sangat beraneka ragam; (4) Warna yang digunakan dipilih
 dengan tujuan mencipta harmoni dan keseimbangan dalam ruang otonom; (5)
 Ornamentasi menggunakan menggunakan gaya arabeska; (6) Ruang yang 
otonom dibentuk dengan membuat spiral. Yang menentukan bobot lukisan itu
 ialah bangunan geometrisnya, bukan kemiripan gambar dengan kenyataan. 
 Dalam tradisi manapun perkembangan seni dan aliran-alirannya selalu 
dipengaruhi oleh penerimaan dan penghargaan masyarakatnya. Namun 
pengaruh yang lebih besar lagi bagi kecenderungannya ialah perkembangan 
wawasan dan gagasan yang sedang tumbuh pada zamannya. Perkembangan 
paling pesat mengambil tempat di Persia pada abad ke-13 dan 14 M, 
sehingga tidak heran apabila lukisan Islam diidentikkan dengan lukisan 
Persia. Di sini pelukis selalu dikaitkan dengan Manu, seorang penganjur 
agama sinkretik pada abad ke-3 M yang juga seorang pelukis terkenal.
 Manu lahir di Babylonia pada tahun 216 M dan wafat pada tahun 277 dalam
 tahanan di penjara Gundeshpur. Raja Bahram I dari Bani Sassan yang 
berkuasa menganggap ajaran Manu sesat. Pengikut ajarannya banyak yang 
dibunuh, namun Manu sendiri berhasil menyelamatkan diri. Dia mengembara 
ke Asia Tengah dan Cina di mana dia memperoleh banyak pengikut. Agama 
yang dia ajarkan merupakan campuran Kristen, Buddhisme dan 
Zarathustraisme dan bersifat dualistis. Alam dunia ini ialah 
pertentangan abadi antara kekuatan baik dan buruk, yang dilambangkan 
dengan Cahaya dan Kegelapan. 
 Berbeda dengan penganjur agama sebelumnya, Manu punya kelebihan: Dia 
seorang pelukis dan sastrawan, serta ahli pidato yang ulung. Dalam Shah-namah
 (1004) Firdawsi menyatakan bahwa Manu menyebarkan agama tidak hanya 
dengan kata-kata, tetapi juga dengan lukisan. Namun karena ajaran 
agamanya bertentangan dengan agama resmi yang dianut raja-raja Bani 
Sassaniyah dan popularitasnya mengancam kedudukan pendeta Zoroaster (mubad),
 dia didakwa sebagai nabi yang sesat. Setelah ajaran agamanya diumumkan 
sesat para pengikut Manu dikejar dan ditangkapi. Manu sendiri dan 
beberapa sisa pengikutnya yang setia dapat melarikan diri dan pada 
akhirnya mengembara ke Asia Tengah dan Cina.
 Di setiap negeri yang didatangi dia ternyata mendapatkan banyak 
pengikut baru. Dia berhasil berdakwah melalui media seni lukis. Kepada 
para pengikutnya yang berbakat Manu mengajar seni lukis. Mereka 
membangun kuil yang indah, yang dinding luar dan dalamnya penuh dengan 
lukisan yang menarik. Para pengikut agama Buddha dan Tao terpengaruh 
oleh kuil-kuil Manuisme dan meniru membangun kuil yang dipenuhi lukisan 
sebagaimana kita saksikan sampai sekarang. 
 Melalui penyebaran agama Manu pada abad ke-3 M ini pulalah lukisan 
Persia tersebar dan pengaruh di Asia Tengah dan Cina. Namun pada 
gilirannya nanti setelah seni lukis Asia Tengah dan Cina berkembang 
pesat, dan di Persia mengalami kemunduran, orang-orang Persia kembali 
belajar kepada orang-orang Cina. Tetapi yang paling penting dalam 
kaitannya dengan tradisi lukisan miniatur ialah kisah yang dialami Manu 
ketika untuk pertama kalinya akan menginjakkan kaki di negeri Cina.
 Menurut cerita ketika penduduk negeri Cina mendengar Manu akan 
mengunjungi negeri itu untuk menyebarkan agama baru, beberapa pelukis 
Cina berkumpul dan sepakat menggambar kolam air pada sebuah hamparan 
batu besar. Gambar itu diletakkan di perbatasan tempat Manu akan 
memasuki negeri Cina. Lukisan kolam air selesai dibuat tidak lama 
sebelum Manu menginjakkan kaki di wilayah itu. Manu mengira bahwa 
lukisan kolam air itu benar-benar kolam. Ketika dia melangkah kendi air 
yang dibawanya jatuh dan pecah. Kini dia tahu bahwa kolam itu hanya 
sebuah gambar untuk memperdaya dirinya. Agar orang lain yang melewati 
tempat itu tidak terkecoh maka Manu kemudian menggambar bangkai anjing 
di atas gambar kolam itu. Gambar itu sangat bagus dan membuat jijik 
orang yang melihatnya. Dengan demikian orang-orang yang melalui jalan 
itu tidak akan menginjakkan kaki di kolam itu.
 Pelukis-pelukis Cina sangat kagum terhadap Manu. Sejak itu Manu diikuti
 oleh orang banyak dan khotbah-khotbahnya selalu dihadiri orang ramai. 
Namun penulis-penulis Persia memberi makna dan penafsiran berbeda-beda 
terhadap peristiwa itu. Menurut Nizami, Manu dipandang murtad oleh para 
pendeta Zoroaster (mubad) karena menggambar realistik sehingga 
dapat menyingkap kebenaran. Lawannya para mubad disamakan dengan ulama 
fiqih yang memandang pelukis sebagai penyembah berhala dan dapat melukis
 bagus berkat bantuan ilmu sihir. Firdawsi menyebut Manu sebagai nabi 
yang berdakwah dengan lukisan dan pengikut Manu Efrahim mengatakan bahwa
 Manu pernah berkata: “Aku menulis ajaranku dalam kitab dan 
menggambarkannya dengan warna dan garis; mereka yang memahami melalui 
kata-kata tidak perlu melihat lagi dalam gambar dan mereka yang hanya 
dapat memahami melalui gambar biar melihat ajaranku melalui gambar 
karena mereka tidak dapat memahami melalui kata-kata.”
 Para penulis Islam abad ke-12 M menafsirkan pengalaman Manu di negeri 
Cina itu sebagai berikut: Kolam air yang memantulkan bayangan 
diumpamakan sebagai mata hati seorang seniman yang kaya dengan imaginasi
 dan gambar anjing merupakan kias bahwa seorang pelukis bukan tukang 
sihir yang kerjanya menipu orang. Pendek kata apa yang dikemukakan para 
sastrawan Persia abad ke-11 dan 12 ini merupakan pembelaan terhadap 
eksistensi pelukis seraya menyindir para ulama fiqih yang mereka samakan
 dengan para mubad atau pendeta ortodoks Zoroaster.
 Menurut para penulis di atas kedudukan dan peranan pelukis sangat 
penting dalam peradaban dan kehidupan agama. Kalau sebuah ajaran 
disampaikan dengan gambar atau lukisan mungkin orang lebih mudah 
menangkap ajaran suatu agama dibandingkan dengan penyampaian melalui 
kata-kata. Penyampaian melalui lukisan langsung dapat diserap oleh 
pancaindera dan tidak jarang penikmatan indera bersifat subtil dan 
merangsang intuisi dan pikiran. Untuk membela kedudukan pelukis, dalam 
bukunya Gulistan Sa`di menyamakan bukunya dengan sebuah lukisan masterpiece dalam Galeri Seni Rupa (arzang) Cina.
 Sa`di berpendapat bahwa karya sastra ialah lukisan yang menggunakan 
media kata-kata. Sebagaimana dalam lukisan, yang dituangkan dalam karya 
sastra bukanlah kenyataan yang sebenarnya. Namun hanya pantulan 
imaginasi, gagasan dan pikiran. Gambar dalam lukisan bukan sesuatu yang 
bernyawa, akan tetapi hikmah (al-hikmah) yang ditransformasikan
 ke dalam obyek penikmatan indera (estetik). Fungsi lukisan ialah 
mendidik orang supaya terdorong mengaktifkan penglihatan indera dan 
batinnya sekaligus, sebab keduanya –penglihatan indera dan penglihatan 
batin– memiliki hubungan erat. Sebagai anugerah Tuhan pancaindera berhak
 memperoleh hidangan rohani yang sehat, yang dapat dipenuhi hanya oleh 
benda-benda seni yang memiliki nilai estetik tinggi.
 Membela kedudukan pelukis dalam bukunya Khamza,
 Nizami sengaja menyebutkan bahwa menjadi pelukis lebih sukar dibanding 
menjadi arsitek. Menurut Nizami seorang pelukis menjadi pelukis bukan 
hanya karena bakat dan cita-cita, melainkan terutama disebabkan 
pendidikan dan latihan yang diterimanya. Pada abad ke-12 dan 13 M di 
Persia untuk menjadi pelukis seseorang harus mempelajari geometri, 
astronomi, ilmu optik, kaligrafi, tarikh atau sejarah, tasawuf, ilmu 
tafsir dan sastra. Karena itu kegiatan melukis dipandang sebagai 
kegiatan intelektual bukan semata-mata kegiatan artistik.
 Namun berbeda dengan filosof atau ilmuwan yang mengandalkan keahliannya
 pada penguasaan akal dan bacaan yang banyak, serta penelitian dan 
eksperimen, keahlian seorang seniman dalam bidangnya ditentukan oleh 
imaginasi dan intuisinya. Menurut Nizami seorang pelukis dapat membuat 
lukisan yang bagus dan berbobot tidak disebabkan karena memiliki bakat 
dan ketrampilan artistik, tetapi terutama disebabkan memiliki imaginasi (khiyal)
 yang kaya. Pelukis yang memiliki imaginasi kaya dapat melukis di mana 
saja, juga pada air yang sedang mengalir. Dengan pendapatnya itu Nizami 
hendak mengatakan bahwa sebuah lukisan itu lahir dari imaginasi bukan 
dari kenyataan sebenarnya. Maka kegiatan seni lukis dipandang sebagai 
kegiatan intelektual yang bersifat imaginatif, intuitif dan rekreatif.
 Penjelasan tentang imaginasi dijumpai dalam buku Arudi yaitu Chadar Maqala.
 Imaginasi ialah fakultas jiwa yang berfungsi menyimpan gambar-gambar 
yang dicerap pancaindera dari dunia luar sehingga dengan demikian 
gambar-gambar itu tetap tersimpan dalam otak walaupun benda-benda yang 
dilihat indera sudah tidak ada. Dengan kata lain imaginasi ialah 
fakultas jiwa yang memiliki ingatan visual yang kuat. Seniman yang 
memiliki ingatan visual kuat akan mudah melahirkan lukisan yang baik. 
Penulis lain yaitu Dust Muhammad mengumpamakan seniman yang penglihatan 
kalbunya tajam dan imaginasinya kaya sebagai cermin yang mudah menangkap
 image (suwari) apa saja yang datang dari luar. Lukisan yang 
indah, menurut Dust Muhammad, dicipta oleh pelukis yang penglihatan 
hatinya terang.
 Perumpamaan cermin juga digunakan Rumi. Menurut Maulana Rumi ialah 
cermin penglihatan kalbu yang sanggup menerima kesan atau pantulan dari 
dunia luar dengan baik dan melalui cermin penglihatan kalbu itulah 
sebuah lukisan memantul. Rumi menyamakan gambar dalam lukisan dengan 
bayang-bayang dalam cermin. Sebagaimana bayang-bayang dalam cermin, 
gambar dalam lukisan tidak bernyawa. Nyawa dicipta oleh Tuhan dan ia 
berada di tempat lain tidak dalam cermin. Kalau gambar lukisan seperti 
bayang-bayang dalam cermin, maka gambar yang sesungguhnya tidak hadir 
dalam cermin. Gambar yang sesungguhnya tersembunyi dalam jiwa si 
pelukis. Atau sebagaimana dikatakan Nizami:
 Setiap lukisan (surah) yang dibuat pelukis (surat-gar)
 Memiliki pantulan (nishan) tetapi bukan jiwa
 Mereka mengajarku melukis
 Tetapi pakaian jiwa tersembunyi di tempat lain 
 Melalui cara demikian itulah para sastrawan Persia membela kedudukan 
pelukis dan seni lukis dalam peradaban Islam. Mereka membela pelukis 
dari tuduhan yang menganggap mereka menggambar makhluq hidup. Pelukis 
tidak menggambar makhluq hidup, tetapi menghadirkan gambar berdasar apa 
yang dilihat dalam imaginasinya. Karena itu gambar tdalam lukisan 
tidaklah bernyawa. Gagasan dan pemikiran tersebut melahirkan konsep 
bahwa seni bukan tiruan alam. 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar